Penyakit Skabies
1. Definisi
Unsur penting dalam konsep penyakit adalah pengukuran bahwa penyakit tidak melibatkan perkembangan bentuk kehidupan baru secara lengkap, tetapi lebih merupakan perluasan atau distorsi dari proses-proses kehidupan normal yang ada pada individu. Meskipun pada kasus penyakit yang jelas menular, dimana tubuh secara harfiah diinvasi, agen menular itu sendiri tidak merupakan penyakit itu, tetapi hanya berperan menimbulkan perubahan-perubahan pada subyek yang skhirnya diwujudkan sebagai penyakit. Jadi, penyakit sebenarnya adalah sejumlah proses fifiologis yang sudah diubah (Price dan Lorraine M Wilson, 1995 dalam Fahmi, 2005, hlm 21).
Skabeis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh sasrcoptes scabiel varian hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung. Pada tahun 1987, Benomo menemukan kutu skabies pada manusia. Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Insiden sama pada pria dan wanita (Harahap, 2000 dalam Fahmi, 2005, hlm 21).
Skabies adalah penyakit kulit yang mudah menular, yang ditimbulkan oleh kutu sasrcoptes scabiel dalam terowongan stratum corneum. Penyakit kulit menular ini juga disebabkan infestasi dan sensitisasi terhadap sasrcoptes scabiel varian hominis dan produknya. Sinonim penyakit ini adalah kudis, buduk, gudik atau agogo (Mansjoer, dkk, 2000).
2. Penularan
Cara penularan penyakit skabies adalah melalui kontak langsung (kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal dan lain-lain. Penularan biasanya oleh sasrcoptes scabiel betina yang sudah dibuahi atau bentuk larva. Dikenal pula sasrcoptes scabiel var. animals yang kadang-kadang dapat menulari manusia, terutama yang memiliki binatang peliharaan seperti Anjing (Mansjoer, dkk, 2000).
Penyakit ini menyerang semua kelompok usia dengan insiden tertinggi pada anak usia sekolah dan remaja. Penularan dapat secara kontak langsung (kulit dengan kulit) atau secara kontak tak langsung yaitu dengan perantaraan pakaian, handuk, dan alat tidur. Oleh karena itu skabies sering menyebar dalam anggota keluarga, dan alat tidur. Oleh karena itu skabies sering menyebar dalam anggota keluarga, satu asrama, kelompok anak sekolah, partner seksual bahkan satu dusun atau desa (Nazirudin, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit ini antara lain kepadatan penduduk, kemisinan, higienis yang yang jelek, mobilitas penduduk, promiskuitas dan kesalahan diagnosis.
Skabies ditularkan oleh kutu betina yang telah dibuahi, melalui kontak fisik yang erat. Penularan melalui pakaian dalam, handuk, sprei, tempat tidur, perabot rumah, jarang terjadi. Kutu dapat hidup diluar kulit hanya 2-3 hari dan suhu kamar 210C dengan kelembaban relatif 40-80%.
Insiden skabies di Negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan edemi berikutnya kurang lebih 10-15 tahun.
Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan, higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi, dan derajat sensitasi individual.
Insidennya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat. Amiruddin dkk, dalam penelitian skabies di Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya, menemukan insiden penderita skabies selama 1983-1984 adalah 2,7% (Harahap, 2000).
3. Penemuan dan Diagnosis
Diagnosis segala bentuk prosedur kesehatan untuk mengenal penyakit yang ada pada seseorang. Melakukan diagnosis sedini mungkin melalui: mendapatkan riwayat penyakit, mengadakan pemeriksaan badan, mengadakan pemeriksaan laboratorium, dan membuat diagnosis (Depkes RI, 1991).
Dasar diagnosis skabies adalah ditemukannya tungau, larva, telur dan kotorannya dengan pemeriksaan mikroskopin. Namun pada praktek sehari-hari adanya rasa gatal di malam hari, adanya lesi yang khas pada prediklesi, ditemukanya lesi yang sama dalam suatu kelompok tertentu (keluarga/ kelompok masyarakat) merupakan dasar untuk menegakkan diagnosis tersangka dan memberikan terapi skabies (Yoseph, 1996). Dengan ditemukannya kutu dewasa, ovumnya atau larva (Naziruddin, 1989).
Menurut Harahap (2000), diagnosis dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal berikut:
a. Pruritas nokturna (gatal pada malam hari) karena aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas
b. Umumnya ditemukan pada sekelompok manusia, misalnya mengenai seluruh anggota keluarga
c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul enfeksi sekunder ruam kulit menjadi polimorfi (pustul, ekskoriasi, dll). Tempat predileksi biasanya daerah dengan stratum korneam tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, aerola mammae dan lipat glutea, umbilikus, bokong, genitalia eksterna dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki bahkan seluruh permukaan kulit. Pada remaja dan dewasa dapat timbul pada kulit kepala dan wajah.
d. Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnosis
Pada pasien yang selalu menjaga higiene, lesi yang timbul hanya sedikit, sehingga diagnosis kadang kala sulit di tegakkan. Jika penyakit berlangsung lama, dapat timbul likenifikasi, impetigo, dan furunkulosis (Mansjoer, dkk, 2000).
Diagnosis menurut Harahap (2000) baru dapat ditegakkan bila ditemukan kutu dewasa, telur, larva, atau skibalnya dari dalam terowongan. Cara mendapatkannya adalah dengan membuka terowongan dan mengambil parasit dengan menggunakan pisau bedah atau jarum steril. Kutu betina akan tampak sebagai bintik kecil gelap atau keabuan dibawah vesikula. Di bawah mikroskop dapat terlihat bintik mengkilap dengan piggiran hitam. Cara lain ialah dengan meneteskan minyak immersi pada lesi, dan epidermis di atasnya dikerok secara perlahan-lahan. Selain bentuk skabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk kusus, yaitu:
a. Skabies pada orang bersih
Skabies yang tedapat pada orang yang tingkat kebersihannya cukup bisa salah diagnosis. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.
b. Skabies pada bayi dan anak
Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi lesi terdapat di muka.
c. Skabies yang ditularkan oleh hewan
Sarcoptes scabiei varian canis dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut. Misalnya perternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak dan akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi secara bersih.
d. Skabies noduler
Nodul terjadi akibat reaksi hipersensitifitas. Tempat yang sering dikenai adalah genitalia pria, lipat paha, dan aksila. Lesi ini dapat menetap beberapa minggu hingga beberapa bulan, bahkan hingga satu tahun walaupun telah mendapat pengobatan anti skabies.
e. Skabies inkognito
Obat steroid topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda skabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topikal yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penurunan respon imun seluler.
f. Skabies terbaring di tempat tidur
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat membawa skabies yang lesinya terbatas.
g. Skabies krustosa
Lesinya berupa gambaran eritrodermi, yang disertai skuama generalisata, eritema, dan distropi kuku. Krusta terdapat banyak sekali. Krusta ini melindungi sakoptes skabies di bawahnya.
4. Pengobatan
Pengobatan adalah bentuk pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk menghentikan proses perjalanan suatu penyakit pada seseorang, sehingga penderitaannya dapat hilang. Tujuan pengobatan secara umum adalah meningkatkan derajat kesehatan perorangan dan masyarakat di Indonesia. Adapaun secara khusus tujuan pengobatan adalah terhentinya proses perjalanan penyakit yang diderita seseorang, berkurangnya penderitaan seseorang karena sakit, tercegahnya dan berkurangnya kecacatan, merujuk penderita ke fasilitas diagosa dan pelayanan yang lebih canggih (Depkes RI, 1999).
Selanjutnya, Harahap (2000) menjelaskan bahwa semua yang berkontak dengan penderita harus diobati termasuk pasangan seksnya. Ada bermacam-macam pengobatan anti skabies, yaitu:
a. Benzene heksaklorida (lindane)
b. Sulfur, benzibenzoat (crotamiton)
c. Monosulfiran
d. Malathion
e. Permethrin
Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan penderita skabies menurut Yoseph (1996, hlm 703) adalah:
a. Emulsi bensil-benzoat 20-35%
b. Krim/ losio gamma bensen heksa klorida 0,5-1%
c. Krim permethrin 5%, krim krotamitoa
d. Salep sulfur 5-10%
Pengobatan skabies untuk bayi, anak, ibu hamil dan menyusui sebaiknya tidak menggunakan lindane oleh karena diabsorbsi lewat kulit dan berakibat neurotoksik. Crotamiton tidak mempunyai efek sistematik sehingga dapat digunakan dalam kelompok bayi, anak, ibu hamil dan menyusui dengan tingkat keberhasilan 70%. Jika gagal crotamiton maka pemberian permethrin merupakan keharusan, bahkan dapat digunakan untuk bayi di atas 2 bulan.
Selanjutnya menurut Mansjoer, dkk (2000) syarat obat yang ideal ialah efektif terhadap semua stadium tungau, tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau dan tidak kotor, tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah diperoleh, dan harganya murah. Jenis obat topikal adalah:
a. Belerang endap 4-20% dalam oabt salep atau krim
b. Emulsi benzil-benzoat 20-25% efektif terhadap semua stadium
c. Gamma benzene heksa klorida (gameksan) 1% dalam bentuk krim atau losio, Kotamiton 10% dalam krim atau losio mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal
d. Krim permetrin 5% merupakan obat yang paling efektif dan aman karena sangat mematikan untuk parasit.
Umumnya setelah diberi pengobatan, pasien tidak menularkan penyakitnya. Pasien kadang masih merasa gatal walaupun tungau sudah mati. Hal ini karena reaksi hipersensitivitas yang tidak segera hilang. Penggunaan hidrokortison dalam krotamiton krim dapat menekan rasa gatal. Apabila pasca pengobatan rasa gatal masih ada, dapat diterapi dengan kortikosteroid jangka pendek. Skabies rasa gatal masih ada, dapat diterapi dengan kortikosteroid jangka pendek. Skabies yang disertai infeksi sekunder dapat diterapi dengan antibiotika.
Hal-hal yang mungkin dapat menjadi penyebab kegagalan pengobatan adalah: adanya reinfestasi, pengobatan tidak dilakukan dengan baik, adanya resistensi tungau terhadap obat, dan adanya imunosupresi (Yoseph, 1996).
Menurut Werner (1989), jika seseorang menderita kudis, setiap anggota keluarga harus diobati. Kebersihan perorangan merupakan hal yang paling penting. Mandilah dangan ganti pakaian setiap hari. Cucilah semua pakaian dan perlengkapan tempat tidur serta jemurlah di bawah sinar matahari. Buatlah salep dari lindane (gamma benzene hexachlorida) dan Vaseline (petroleum jelly).
5. Perawatan skabies
Menurut David Winner (2001, hlm 316) individu beresiko mengalami perubahan yang merugikan, maka pederita bisa melakukan, perawatan penyakitnya sebagai berikut:
a. Mandi secara rutin
b. Menghindari kedinginan
c. Mengeringkan kulit
d. Membalurkan lotion
e. Mencuci dengan air sabun yang hangat
f. Membersihkan kuku
g. Mempertahankan kenyamanan fisik
h. Mengganti alas tempat tidur tiap hari
Diposting oleh : Y. P. Rahayu yang diambil dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment